Sebagai sebuah mata uang virtual yang sedang banyak dibicarakan, Bitcoin saat ini sudah menjadi fenomena baru di dunia internet dan juga ranah ekonomi global. Hampir genap 6 tahun sejak pertama kali dikembangkan Bitcoin nyatanya menuai banyak sekali tanggapan pro dan kontra.
Tidak sedikit diantara pengguna internet utamanya yang menggeluti dunia bisnis online di seluruh dunia yang telah mengenal bahkan ikut menggunakan mata uang virtual tersebut. Namun disisi lain dengan cukup banyaknya ketidak pastian seperti belum adanya lembaga penjamin nilai riil dari Bitcoin menjadikan banyak dari masyarakat maya belum bisa mempercayai mata uang virtual tersebut.
Pun dalam batasan yang lebih besar, sektor ekonomi global telah angkat suara. Dipelopori beberapa negara seperti China dan India, kini tidak sedikit otoritas keuangan yang ada ditiap negara ramai-ramai menyatakan bahwa Bitcoin merupakan mata uang yang illegal dan tidak diterima sebagai alat tukar yang sah di negara tersebut. Dampaknya? Tidak jarang beberapa kegiatan transaksi Bitcoin yang cukup mencurigakan akan sangat rawan diduga sebagai sebuah kasus pidana. Bagaimana sebagainya kita menyikapi hal tersebut?
Perundangan Negara Vs Legalitas Bitcoin
Sejak muncul tahun 2009 lalu, Bitcoin menjadi ladang penghasilan yang sangat menjanjikan bagi sebagian orang yang serius menggeluti pengelolaan mata uang virtual tersebut. Beberapa orang mencoba peruntungan menjadi Bitcoin Miner atau penambang Bitcoin dan sebagain lain yang memiliki dana lebih akan memilih mendirikan perusahaan penukaran Bitcoin. Namun saat ini nampaknya efek buruk yang dulu ditakuti para pengguna Bitcoin mulai nampak.
Seperti halnya yang terjadi pada salah seorang penggiat penggunaan mata uang Bitcoin dari Amerika Serikat bernama Charlie Shrem. Ia didakwa oleh jaksa setempat telah melakukan tindakan pencucian uang dengan modus pengalihan dana menjadi mata uang Bitcoin. Tidak tanggung-tanggung, nilai pencucian uang yang disangkakan kepadanya mencapai US$ 1 juta. Bukan nilai yang kecil tentunya.
Saat ditangkap, Shrem masih berstatus sebagai Wakil Presiden dari Bitcoin Foundation. Bitcoin Foundation sendiri merupakan sebuah badan yang bergerak dengan tujuan memperkenalkan dan mempopulerkan penggunaan mata uang virtual, yang dalam hal ini adalah Bitcoin, agar dapat digunakan dan diakui sebagai alat tukar yang sah.
Namun usaha dari badan tersebut nampak akan semakin sulit dengan salah seorang petingginya yang ditangkap dengan dugaan tindak pidana pencucian uang tersebut. Dan setelah ditetapkan sebagai tersangka, tidak menunggu waktu yang lama Shrem akhirnya dibekuk oleh pihak kepolisian New York di Bandara John F. Kennedy beberapa waktu yang lalu.
Dari hasil pengembangan penyelidikan, ia diduga melakukan tindakan pencucian uang bersama dengan seorang rekannya bernama Robert Faiella. Robert Faiella adalah seorang warga Florida yang menjadi pembeli mata uang Bitcoin sejumlah US$ 1 juta tersebut. Faiella saat ini juga dijebloskan kedalam penjara dengan tuduhan ikut dalam aksi pidana pencucian uang.
Dalam kasus ini bisa dibayangkan, meski belum ada kejelasan apakah dana tersebut benar-benar uang panas yang “dilegalkan” dengan cara ditukar menjadi mata uang Bitcoin, namun baik dari pihak penjual maupun pembeli sama-sama dijerat dengan tuduhan pidana.
Pihak kepolisian setempat tentunya juga tidak sembarang untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak. Tentunya telah dilakukan serangkaian penyelidikan dan juga uji perundangan atas apa yang dilakukan oleh tersangka. Dan sesuai dengan hukum yang ada di Amerika, apa yang dilakukan oleh Charlie Shrem tersebut memang bisa dikategorikan sebagai bentuk pencucian uang dengan mengalihkan dana melalui bentuk mata uang yang tak berlisensi (Bitcoin).
Tidak hanya di Amerika, beberapa negara lain juga memiliki alasan lain untuk tidak melegalkan penggunaan Bitcoin sebagai alat tukar yang sah. Sebagai contohnya adalah seperti yang ada di negara Cina dan Korea Selatan. Baik pemerintah maupun otoritas keuangan yang ada dikedua negara tersebut kompak menyatakan bahwa Bitcoin tidak bisa diterima.
Pemerintah Cina misalnya, tidak memperbolehkan adanya institusi finansial dan lembaga pembayaran yang menggunakan Bitcoin sebagai alat tukarnya. Hal ini tentunya dapat cukup membatasi penyebaran mata uang virtual Bitcoin di negara tirai bambu tersebut. Senada dengan hal tersebut, pemerintah di Korea Selatan menyatakan alasan kenapa Bitcoin tidak bisa diterima sebagai mata uang yang sah adalah dengan tidak adanya nilai intrinsik yang terkandung dalam mata uang tersebut. Dengan begitu akan sulit untuk mencari indikator pembanding yang dapat menentukan nilai riil dari Bitcoin. Dampaknya penggunaan Bitcoin dikedua negara tersebut tidak bisa berkembang bahkan cenderung dijauhi karena bertentangan dengan perundangan yang ada.
Bagaimana Perundangan Indonesia Memandang Bitcoin?
Saat ini Bank Indonesia sebagai otoritas keuangan resmi yang ada di Indonesia menyatakan dengan jelas bahwa penggunaan Bitcoin sebagai alat tukar atau mata uang sama sekali tidak sah dan tidak bisa diterima secara legal.
Setelah melakukan uji kajian terhadap Bitcoin secara lebih mendalam meliputi jumlah penggunaannya yang ada di Indonesia hingga ketahanan mata uang tersebut, akhirnya BI resmi menyatakan bahwa Bitcoin tidak bisa digunakan sebagai satu nilai tukar yang sah. Perundangan yang mendasari keputusan tersebut yaitu Undang-Undang No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang serta UU No. 23 Tahun 1999. Dalam perundangan tersebut telah jelas dikatakan bahwa mata uang yang sah dan dapat digunakan di Indonesia hanyalah Rupiah. Dan jika terdapat penggunaan mata uang selain mata uang yang sah tersebut bisa dikenakan sanksi pidana dalam kondisi tertentu seperti adanya tindakan pencucian uang.
Dalam penggunaannya pun sesuai dengan siaran pers dari BI menyatakan bahwa BI menghimbau agar semua masyarakat berhati-hati dalam menggunakan mata uang virtual, termasuk Bitcoin. Karena jika terjadi sebuah penipuan atau tidak pidana lain, semua menjadi merupakan tanggung jawab pribadi dari pemilik mata uang tersebut.
Lebih dalam lagi jika ditelisik Bitcoin merupakan produk eletronik tentunya kewenangan akan dilimpahkan pada Kementerian Komunikasi dan Infomasi (Kemen Kominfo). Dalam UU ITE pun juga telah diatur bahwa semua transaksi elektronik harus memperoleh sertifikasi dari Kemen Kominfo. Dan sejauh ini Bitcoin tidak mendapatkan pengabsahan dari Kemen Kominfo yang berarti juga bahwa Bitcoin masih merupakan mata uang yang tidak sah dipakai dalam transaksi elektronik yang ada di Indonesia.
Menyikapi legalitas saat ini, tentunya kita harus lebih bijak dalam memandang penggunaan mata uang virtual tersebut. Disatu sisi Bitcoin memang menawarkan berbagai kemudahan dan juga mungkin bisa menjadi ladang penghasilan tambahan yang menggiurkan. Namun jangan sampai apa yang anda dapatkan berkebalikan dengan keuntungan yang anda harapankan nantinya.
Dan sebagai penutup berikut ini video liputan mengenai alasan BI tidak melegalkan Bitcoin.
BitKONG - Fun & Addictive, provably fair bitcoin guessing game.
BalasHapusDON'T Forget: Claim free bitcoins every 10 mins from the free btc faucet.