Presentase film Indonesia yang sukses di pasaran masih jauh dari harapan.
Tahun lalu, dari sekitar 120 judul film Indonesia yang tayang di bioskop,
yang laris ditonton tak sampai sepuluh persennya.
Cintailah karya anak bangsa.
Jargon ini rupanya belum cukup untuk membuat film-film Indonesia menjadi raja di negeri sendiri. Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin, mengatakan presentase film Indonesia yang sukses di pasaran masih jauh dari harapan. Tahun 2014 lalu, dari sekitar 120 judul film Indonesia yang wara-wiri di bioskop, yang laris manis ditonton tak sampai sepuluh persennya.
Kemungkinan penyebab film lokal kurang laris di bioskop adalah, maraknya alternatif hiburan film lainnya di televisi swasta, tv kabel, dan pembajakan film lewat DVD. Di samping itu, tak semua daerah di Indonesia memiliki bioskop. Film-film kita sulit menjangkau masyarakat di pelosok tanah air.
Kini, memang semakin banyak dibuka bioskop-bioskop baru di Indonesia. Sampai dengan Mei 2014, jumlah seluruh bioskop di Indonesia mencapai 211 bioskop. Sayang, distribusinya belum merata. Sekitar 60% bioskop berlokasi di pulau Jawa, itu pun lebih banyak berkembang di kota-kota besar saja, terutama di mall dan pusat perbelanjaan.
Soal kualitas, dibandingkan film-film luar negeri, film Indonesia masih kalah dari segi ide cerita. Tema klise semacam cinta picisan dan horor bertabur artis berpakaian sensual yang sempat mendominasi dunia sinema tanah air, mungkin menjadi penyebab utama mengapa saya dan para penonton lainnya lebih memilih film impor ketimbang film lokal.
Padahal, sebetulnya banyak tema lain yang bisa digali dari sejarah dan budaya Indonesia yang kaya ini, untuk dijadikan film. Semisal budaya tari ronggeng yang dikupas dalam Sang Penari, atau dinamika kehidupan ala pesantren di Negeri 5 Menara.
Faktor lain mengapa film kita masih sepi peminat, mungkin soal riset. Entah kenapa pegiat sinema Indonesia seperti masih kurang serius melakukan riset, yang diperlukan demi akurasi cerita dalam film.
Misalnya, Hafalan Shalat Delisa. Meski film tersebut berlatar di dekat pantai Lhok Nga, Aceh, budaya lokal seperti bahasa yang dipakai sehari-hari saja sama sekali tak muncul dalam dialog. Akibatnya, film ini gagal meyakinkan saya untuk percaya bahwa kisah Delisa terjadi di Aceh, bukan di kota-kota lainnya.
Kabar gembira, beberapa tahun terakhir ini kualitas film kita membaik dengan munculnya film-film yang tidak semata menjual hiburan tapi juga nilai yang bisa diteladani. Contohnya, sebut saja Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, Tanah Air Beta yang bikin kita makin cinta negeri ini. Ini kemajuan yang baik.
Film adaptasi buku populer |
Bagaimana dengan tren film Indonesia tahun 2015?
Dari beberapa artikel yang saya baca, tren film belum akan bergeser jauh dari tahun sebelumnya, yaitu film yang diadaptasi dari buku-buku laris. Film-film semacam ini cukup berhasil menarik banyak penonton, yaitu dari kalangan penggemar buku sekaligus penikmat film.
Orang-orang yang puas setelah membaca suatu buku akan antusias untuk menonton filmnya agar bisa membandingkan versi mana yang lebih bagus. Sebaliknya, orang-orang yang belum membaca bukunya akan penasaran untuk menonton karena promosi "diangkat dari novel bestseller". Banyak dari mereka yang, karena terkesan dengan film tersebut, kemudian membeli bukunya. Hmm, jadi industri perfilman dan perbukuan sama-sama untung dong ya. :)
Ini terbukti dari seluruh film Indonesia yang beredar di bioskop tahun 2014, ternyata tujuh dari sepuluh film dengan perolehan jumlah penonton terbanyak merupakan hasil adaptasi dari buku. Ketujuh film tersebut adalah Haji Backpacker, Supernova, Assalamualaikum Beijing, 99 Cahaya di Langit Eropa part 2, Marmut Merah Jambu, Mimpi Sejuta Dolar, dan Hijrah Cinta. Film-film tersebut berhasil meraih ratusan ribu, bahkan lebih dari satu juta penonton.
Dan, siapa sih yang bisa lupa sama Laskar Pelangi yang diproduksi tahun 2008? Film fenomenal yang berdasarkan novel karya Andrea Hirata ini tercatat sudah disaksikan 4,6 juta penonton. :D
Data dari filmindonesia.or.id |
Selain film adaptasi buku, film religi diperkirakan juga masih menjadi tren di Indonesia, bahkan dalam beberapa tahun ke depan. Ini diungkapkan Eddy Iskandar, ketua Forum Film Bandung (FFB) dalam acara Pesta Buku 2015 di Bandung. Film-film religi yang diangkat dari novel bahkan mampu bersaing dengan film-film dari genre lain yang juga diadaptasi dari novel.
Film religi yang saya maksud di sini bukan cuma film yang pemain-pemainnya berbusana muslim, atau yang dialognya penuh khotbah lho. Bukan berarti kedua hal itu ngga baik, hanya saja kita butuh lebih dari sekedar simbol agama, tapi juga hikmah yang bisa menyentuh hati saat menonton filmnya.
Bagaimanapun, film religi cenderung disukai penonton kita karena lebih sesuai adat ketimuran dan lebih "aman" untuk ditonton bersama keluarga, termasuk anak-anak. Pesan-pesan kebaikan juga bisa tersampaikan secara implisit lewat adegan tokoh-tokohnya, tanpa harus terasa menggurui.
Masih ingat dong sama film Ayat-ayat Cinta? Film yang sudah disaksikan 3,6 juta penonton ini menjadi pembuka popularitas film-film religi yang bermunculan setelahnya. Ada Ketika Cinta Bertasbih (3,1 juta penonton), Sang Pencerah (1,2 juta penonton), 99 Cahaya di Langit Eropa (1,1 juta penonton), dan lain-lain. Menyusul kemudian tahun 2014, ada 99 Cahaya di Langit Eropa part 2, Hijrah Cinta, Assalamualaikum Beijing dan Haji Backpacker yang masuk daftar sepuluh film lokal terlaris.
Seiring perkembangan zaman, para penonton kita semakin kritis dalam memilih film. Agar bisa bersaing dengan film lainnya, lokal maupun impor, produsen film dituntut untuk menghasilkan tak sekedar tontonan menghibur, tapi juga yang bermutu. Dengan terus bertambahnya film-film bermutu karya anak bangsa, semoga suatu saat nanti film Indonesia akan berjaya di negeri sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar
Boleh komentar apa saja.