I. Muqaddimah
Ada tiga peristiwa besar yang terjadi
pada bulan Dzulhijjah (bulan ke dua belas qomariyah) yaitu pertama
pelaksanaan ibadah haji, kedua hari raya ‘idul adha, dan ketiga adalah
pelaksanaan dari udhiyah atau penyembelihan hewan qurban itu
sendiri. Ketiga ibadah ini satu sama lain saling terkait, bahkan idhul
adha sendiri sesungguhnya memiliki keterkaitan makna dengan ‘dhul fithri. Begitu
besar dan sakralnya perayaan idul adha, umat Islam selalu menyambutnya
dengan gegap gempita dan penuh suka cita. Lantunan takbir menjelang
‘idul adha selalu bergemuruh dan menggema menembus langit-langit dunia
mengiringi perginya senja hari pelaksanaan shalat ‘idul adha. Sekaligus
mengawal sembelihan hewan qurban yang menjadi hari raya ini. Umat Islam
pun tenggelam ke dalam ceruk penghayatan ritus ibadah yang sarat makna.
Meningkatnya kesadaran religius umat
Islam yang ditandai dengan menggelembungnya kuantitas hewan qurban
merupakan fenomena yang menggembirakan. Namun tampak ironis, dalam
rentang waktu yang nyaris bersamaan kualitas moral mengalami pemandulan
jika mengamati kondisi sosial masyarakat saat ini yang sedang sakit
parah untuk tidak menyebut kronis.
Qurban bahkan ‘idul adha itu sendiri
seringkali hanya dipahami sebatas ibadah ritual keagamaan yang rutin.
Artinya, setiap umat Islam yang melaksanakan ibadah qurban dan shalat
‘idul adha hanya mengharap pahala atau surga. Setiap yang melakukan
ibadah qurban yang terbayang selalu besarnya pahala dan nikmatnya masuk
surga akibat imbalan dari perbuatan qurban yang pernah dilakukan. Adapun
nilai atau makna ritual dari ibadah qurban apalagi makna sosialnya
seringkali terlupakan. Akibat nyata yang dirasakan, ibadah qurban tidak
mampu melahirkan nilai praktis dalam kehidupan masyarakat.
II. Makna Spiritual dalam Ibadah Kurban
Jika kita membaca kisah Nabi Ibrahim
a.s. dan Ismail a.s. yang merupakan akar sejarah diturunkan ibadah
qurban ini kepada kita sampai hari ini, maka kita menemukan makna
spritualitas yang sangat tinggi. Secara spiritual, apa yang diteladankan
oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. itu, menunjukkan kepasrahan atau
kepatuhan yang total dari hamba kepada Allah dalam menunaikan ibadah.
Ternyata kepatuhan atau kepasrahan
tersebut bukan untuk Tuhan melainkan untuk manusia itu sendiri. Setiap
ibadah memang menuntut adanya totalitas kepasrahan dan kepatuhan. Inilah
yang disebut beribadah dengan ikhlas, tanpa pamrih kecuali karena Allah
semata. Ini bermakna bahwa kita dalam beribadah tidak boleh
terpecah-pecah, atau tidak ikhlas, ingin pamer atau dianggap memiliki
tingkat ibadah yang tinggi. Ibadah yang ikhlas dan pasrah adalah jauh
dari riya’ (agar dilihat orang ), sum’ah (agar didengar orang lain) sehingga tidak hanya lillah ta’ala melainkan juga billah ta’ala.
Makna spritualitas lain adalah
keberanian menanggung resiko yang berat sebagai bentuk kecintaan kepada
Allah S.W.T., melebihi kecintaan kepada yang lainnya. Harta, kedudukan,
bahkan jiwa, tak ada artinya jika demi mahabbah atau cinta yang
abadi kepada Allah. Inilah sikap bertauhid yang murni dan sekaligus
menunjukkan keimanan dan ketaqwaan yang tinggi.
Nabi Ibrahim dan Ismail telah
membuktikan, agar manusia Muslim jangan sampai terpenjara oleh kecintaan
kepada dunia (harta, kedudukan, jiwa raga) secara berlebihan dan
membawa dirinya lupa kepada hakikat dan tujuan hidupnya yang sejati
yakni memperoleh keridhaan Allah.
Kata qurban itu sendiri mengandung makna
dekat. Sehingga ibadah qurban upaya mendekatkan diri kepada Allah
S.W.T., Inti ibadah qurban adalah menguji kesadaran dan sejauh mana
segala pola fikir, pola tindak kita benar-benar sejalan dengan perintah
Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Karakter orang yang dekat dengan
Allah adalah orang yang sanggup melaksanakan segala perintah Allah dan
menjauhi larangan Allah S.W.T. (imtisalu al-awamir wa ijtinab al-nawahi).
Maka qurban dalam pengertian Islam
merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah lewat binatang ternak
yang disembelih. Dengan menyembelih binatang ternak seorang muslim pada
hari raya idul adha dan hari-hari tasyrik telah merelakan sebagian harta
yang dimilikinya sebagai realisasi ketaatannya kepada perintah Allah
dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah“.
(Q.S. al-Kautsar [108]: 1-2). Karena itu, qurban dalam Islam hanyalah
sebagai perlambang saja, sebab yang terpenting ketulusan hati untuk
melaksanakan ibadah itu sebagai rasa syukur kepada Allah S.W.T. Dengan
berqurban dalam konteknya yang lebih luas akan membangun eksistensi
manusia yang sejati, manusia yang menyandang staus Abdullah dan khalifatullah (hamba Tuhan dan wakil Tuhan di permukaan bumi ini.
III. Makna Sosial dalam Ibadah Qurban
Setiap yang disyariatkan Allah kepada hambanya di samping memiliki makna dalam konteks relasi hamba dengan Rabb-nya seperti disebutkan di atas, juga selalu memiliki makna dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks relalsi hamba dengan hamba.
Sehingga setiap yang disyariatkan Allah kepada hambanya, pasti memiliki
makna dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah qurban di samping memiliki
makna ritual juga mengandung makna sosial. Artinya, umat Islam yang
melaksanakan qurban atau umat Islam lain yang tidak berqurban tetapi
mereka merayakan idul qurban sudah seharusnya berupaya mengambil makna
yang ada dalam ibadah qurban agar umat Islam benar-benar dapat
mengimplementasikan nilai atau makna ibadah qurban dalam kehidupan
sehari-hari. Ibadah qurban yang dirayakan setiap tahun oleh umat Islam
hanya sampai di bibir saja, hanya sampai pada proses penyembelihan hewan
qurban saja, bahkan sangat ironis ibadah qurban hanya dijadikan arena
pesta pora makan-makan bagi masyarakat.
Ibadah qurban haruslah dimaknai sebagai
pendidikan kepada orang yang mampu untuk memberikan sebagian harta
kekayaannya kepada umat yang membutuhkan (miskin). Dengan harapan dapat
meringankan beban penderitaan bagi kaum lain yang masih dalam
kemiskinan. Membantu agar meringankan beban orang lain tidak selalu
dengan harta kekayaan, melainkan bisa dengan kemampuan intelektual
(konseptual). Orang yang tidak memiliki harta tetapi memiliki kualitas
intelektual maka mereka harus membantu meringankan beban dengan pikiran.
Semangat membantu meringankan
penderitaan sesama manusia adalah substansi qurban yang perlu
dikedepankan. Orang yang tidak memiliki semangat untuk membantu
meringankan beban penderitaan orang lain meskipun mereka setiap tahun
melaksanakan penyembelihan hewan qurban, belum dapat dikatakan telah
melaksanakan ibadah qurban. Sebaliknya, meskipun seseorang itu tidak
pernah menyembelih hewan qurban tetapi memiliki semangat dan selalu
memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan berarti mereka telah
melaksanakan ibadah qurban.
Ibadah qurban juga mengandung makna agar
umat Islam dalam kehidupannya selalu membunuh, membuang jauh-jauh
sifat-sifat binatang yang bersarang dalam dirinya. Karakter dominan dari
binatang adalah tidak memiliki rasa kebersamaan atau
persatuan-kesatuan, hanya mementingkan isi perut (kenyang), tidak
mengenal aturan, norma atau etika.
Qurban bukan semata-mata hanya cukup
dengan menyembelih hewan qurban, justru yang sangat penting adalah
bagaimana manusia benar-benar mampu membuang jauh-jauh segala mentalitas
yang dimiliki binatang dari dalam dirinya. Imam Al-Gazali menyebut, ada
dua sifat yang selalu bergejolak dalam diri manusia, yaitu sifat
malaikatiyah dan sifat hewaniyah. Sifat malaikatiyah selalu mengajak
untuk berbuat positif, sedang sifat hewaniyah selalu mengajak untuk
berbuat jahat. Substansi qurban berarti upaya untuk mengoptimalkan sifat
malaikatiyah dan menghilangkan sifat hewaniyah.
Untuk itulah, ibadah qurban sudah
sepantasnya dijadikan momentum yang sangat berharga untuk menggerakkan
dan mengembangkan kesadaran sosial bagi sebagian orang yang memiliki
aset ekonomi memadai agar melakukan pemerataan kesejahteraan. Hewan
qurban hanyalah repesentasi dari keniscayaan berqurban yang lebih besar
bagi kepentingan masyarakat. Dengan demikian, wujud kecintaan kepada
Allah dapat dimanifestasikan dalam kecintaan kepada sesama manusia.
IV. Makna Usaha dan Perjuangan dalam Ibadah Haji dan Qurban
Kehidupan kita di Indonesia sampai saat
ini masih diwarnai dengan berbagai persoalan yang semakin kompleks
sehingga tidak mudah menghadapi dan mengatasinya, baik di bidang sosial,
ekonomi, hukum, politik, pertahanan dan keamanan maupun budaya. Bila
dipandang dari sisi ajaran Islam, maka kita bisa merasakan dan harus
kita akui bahwa kesulitan dalam menghadapi dan mengatasinya karena
terjadi kesenjangan yang begitu besar antara pengakuan kita sebagai
muslim dengan realitas kehidupan yang kita jalani, karenanya keindahan
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin nampak terhalang oleh “kabut” sikap dan prilaku umat Islam yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Hari raya ‘id al-adha tidak
lepas dari simbol-simbol pelaksanaan ibadah haji untuk menjadi pedoman
kita dalam menghadapi berbagai persoalan sosial dan individual karena
haji merupakan rukun Islam yang kelima mengandung pengamalan nilai-nilai
kemanusiaan universal. Pengamalan ini bermula dari kesadaran akan fithrah
atau jati diri manusia serta keharusan menyesuaikan diri dengan tujuan
kehadiran di pentas bumi ini dan berpegang kepada syari’ah.
Kemanusiaan menjadi salah satu
implementasi peran manusia sebagai makhluk fungsionil yang bertanggung
jawab. Dalam ibadah haji focus tertuju pada Baitullah (Ka’bah) sebagai simbol persatuan dan kesatuan umat Islam secara internasional. Tetapi selain simbol persatuan dan kesatuan, Ka’bah itu sendiri mengandung makna eksistensi kemanusiaan. Misalnya, pada bagian dari ka’bah terdapat hijr Ismail
putra Ibrahim. Ismail pernah hidup dalam suka dan duka bersama ibuda
Hajar pada saat ditinggal ayahanda Ibrahim. Hajar adalah seorang ibu
yang penuh kasih sayang terhadap anaknya, penuh ketenangan dan
keluhuran. Ia adalah seorang wanita hitam, miskin dan bahkan budak.
Namun demikian budak wanita ini ditempatkan oleh Allah S.W.T., di sana
untuk menjadi pelajaran bahwa Allah memberi kedudukan untuk seseorang
bukan karena keturunan atau status sosialnya, tetapi karena ketaqwaannya
kepada Allah dan usahanya untuk hijrah dari kejahatan menuju kebaikan,
dari keterbelakangan menuju peradaban.[1]
Wanita yang bernama Hajar kembali muncul pada amalan sa’iy, sosok
wanita bersahaja yang diperisterikan Nabi Ibrahim a.s. diperagakan
pengalamannya mencari air untuk putranya. Sebetulnya keyakinan wanita
ini akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah, sedemikian kokoh jauh dari
sebelum peristiwa pencarian itu. Ketika bersedia ditinggal bersama
anaknya di suatu lembah yang tandus. Keyakinannya yang begitu dalam
tidak menjadikannya berpangku tangan dengan hanya menunggu turunnya
hujan dari langit. Tetapi, ia berusaha dan berjuang mempertahankan
kehidupan.
Hajar memulai melakukan usahanya dari bukit Shafa
yang arti harfiyahnya adalah kesucian dan ketegaran, sebagai lambang
bahwa untuk mencapai hidup harus dengan usaha yang dimulai dengan
kesucian dan ketegaran dan harus diakhiri di bukit Marwah yang berarti ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati, dan memaafkan orang lain.
Kalau pada amalan thawaf menggambarkan larut dan meleburnya manusia dalam hadirat Ilahi, maka pada amalan sa’iy menggambarkan usaha manusia mencari hidup, yang dilakukan selesai thawaf agar melambangkan bahwa kehidupan dunia dan akhirat merupakan suatu kesatuan dan keterpaduan.
Dengan thawaf disadarilah tujuan hidup manusia dan setelah kesadaran itu, dimulai sa’iy antara bukit Shafa dan Marwah, mengikuti dan meniru seorang Ibu yang penuh kasih sayang terhadap anaknya. Sa’iy,
dengan demikian, menggambarkan bahwa tugas manusia adalah berupaya
semaksimal mungkin dalam memperjuangkan hidupnya termasuk menjamin
kelangsungan hidup keluarganya. Hasil usaha yang maksimal dan ikhlas
insya Allah akan diperoleh baik melalui usahanya maupun melalui anugrah
Tuhan seperti yang telah dialami Hajar a.s. bersama puteranya Isma’il,
dengan ditemukannya air zamzam itu.
Mengingat kondisi negara kita yang masih
dilanda krisis multidimensi banyak hal yang dapat kita ambil dari makna
amalan thawaf dan amalan sa’iy antara lain rasa optimisme yang tinggi
akan hari esok yang lebih baik. Berbagai krisis terutama dalam bidang
ekonomi yang berkepanjangan harus dihadapi dengan rasa optimisme yang
tinggi, yakin kepada Allah S.W.T., Yang Maha Pemberi rizki bahwa Dia
sebenarnya telah menyediakan rizki itu kepada setiap makhluknya. Sikap
optimisme ini harus berbarengan dengan usaha untuk mencari rezeki agar
bisa melangsungkan kehidupan dengan baik seperti yang telah dilakukan
oleh Hajar.
Dalam memperjuangkan hidup dan kehidupan
diperlukan semangat berqurban dan menunjukkan realisasi pengorbanan itu
sesuai dengan tingkat kemampuan kita masing-masing. Kesulitan-kesulitan
hidup jangan sampai membuat kita terlalu banyak alasan untuk tidak mau
berqurban bagi kemaslahatan atau kebaikan orang lain. Nabi Ibrahim a.s
telah menunjukkan semangat pengorbanannya yang tiada tara. Ketika kita
menginginkan kehidupan yang baik, harus ada pihak-pihak yang berqurban,
karena dalam suatu masyarakat ada orang yang memiliki kelebihan dan ada
yang memiliki kekurangan, yang berlebih harus mau berqurban untuk yang
berkurang meskipun sebenarnya pengorbanannya itu juga untuk kepentingan
dirinya sendiri.
Sikap optimisme dan berusaha secara
maksimal serta sikap mau berqurban harus pula dibarengi dengan usaha
mempertahankan nilai-nilai idealisme sebagaimana Ibrahim yang
mempertahankan nilai-nilai kebenaran sejak beliau masih muda hingga
sudah tua, ini bisa kita ambil pelajarannya saat Nabi Ibrahim a.s yang
ingin menegakkan nilai-nilai tauhid dengan menghancurkan berhala-berhala
yang mengakibatkan Nabi Ibrahim dihukum mati dengan cara dibakar dan
akhirnya Allah S.W.T., menyelamatkannya meskipun ia dianggap sebagai
orang yang zhalim oleh penguasa yang zhalim, saat itu Nabi Ibrahim masih
berusia sangat muda sebagaimana diceritakan di dalam al-Qur’an, yang
artinya, “Mereka berkata: “siapakah yang melakukan perbuatan
(menghancurkan patung) ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia
termasuk orang-orang yang zalim”. Mereka berkata: “kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.” (Q.S. al-Anbiyâ’[21]: 59-60).
Selanjutnya bandingkan dengan Nabi
Ibrahim ketika diperintah untuk menyembelih Ismail, Ibrahim saat itu
sudah sangat tua, sudah kakek-kakek karena sudah lama ia ingin punya
anak dari perkawinannya dengan Sarah tapi ia belum juga punya anak dan
iapun akhirnya kawin dengan Hajar dan dikaruniai anak yang diberi nama
Ismail. Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim adalah
seorang yang harus kita teladani dalam mempertahankan idealismenya pada
kebenaran, beliau taat sejak muda hingga tua. Karena itu sejak muda
hingga tua seharusnya kita selalu menunjukkan ketaqwaan kita kepada
Allah S.W.T.
Akhirnya dapat kita simpulkan bahwa
ketika krisis kehidupan terjadi, maka sebagai orang muslim, yang harus
kita lakukan adalah semakin mendekatkan diri kita pada kehidupan yang
islami sehingga satu-demi satu persoalan bisa kita hadapi dan kita
atasi, sedangkan bila kita semakin jauh dari nilai-nilai Islam, maka
krisis kehidupan bukan hanya semakin panjang tapi juga semakin
menimbulkan persoalan-persoalan baru. Semoga kita semakin tabah dalam
menghadapi tantangan yang sangat beragam dalam kehidupan ini.
V. Makna Kesetaraan
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa
ibadah qurban diwajibkan kepada mereka yang mampu agar kita belajar dari
pengorbanan yang dulu dilakukan Nabi Ibrahim. Tuhan memerintahkan Nabi
Ibrahim melalui mimpi untuk mengorbankan putra kesayangannya, Nabi
Ismail.[2]
Kita bisa merasakan betapa beratnya perintah yang harus dilaksanakan
Nabi Ibrahim. Putra kesayangan, yang ia tunggu begitu lama kelahirannya,
tiba-tiba harus ia qurbankan. Namun, karena itu adalah perintah dari
Tuhan, mustahil bagi Nabi Ibrahim untuk tidak menjalankannya. Di luar
dugaan, Nabi Ismail ternyata mendukung ayahnya untuk menjalankan
perintah Tuhan itu. Kita semua kemudian tahu, ketika ujung pisau
mengenai leher Nabi Ismail, Tuhan menggantikannya dengan seekor kambing.
Hampir seluruh ulama sepakat bahwa apa
yang dilakukan oleh Ibrahim terhadap Ismail adalah bukti penyerahan diri
sepenuhnya terhadap perintah Tuhan. Oleh karenanya, ajaran Ibrahim
disebut sebagai ajaran Islam (penyerahan diri). Seorang mufassir modern,
Muhammad Ali (1874-1951) memaknai qurban sebagai tindakan kerendahan
hati dan kesabaran dalam penderitaan dan ketakjuban kepada Ilahi.
Dalam hal penyembelihan hewan sebagai
simbol qurban, Ali Syari’ati memaknainya sebagai sebuah perumpamaan atas
kemusnahan dan kematian ego. “Berqurban berarti menahan diri dari, dan
berjuang melawan, godaan ego”. Bahkan secara lebih tegas, Muhammad Ali
mengatakan bahwa qurban atau penyembelihan hewan sebenarnya adalah
lambang dari penyembelihan hewan (nafsu hewani) dalam diri manusia.
Mencermati arus pemikiran dua
intelektual muslim di atas, kita menjadi mengerti betapa dasyat
pemaknaan ibadah qurban. Berqurban dengan menyembelih hewan tidaklah
berhenti pada pemaknaan secara simbolik. Tetapi, menukik dalam ke ranah
substansi ibadah qurban.
Kendati demikian, yang menarik kita
cermati adalah sejarah ritual qurban sendiri. Sebab, pemaknaan ibadah
qurban selama ini selalu dilekatkan kepada sosok Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail. Sebagaimana telah disinggung, bahwa qurban adalah ibadah
simbolis untuk mengenang penyembelihan terhadap Ismail. Padahal, dalam
lanskap sejarah itu ada sesosok manusia yang nyaris diabaikan
peranannya, dialah Siti Hajar.
Siti Hajar dalam kanal sejarah itu
adalah sosok perempuan tegar yang membenarkan mimpi Nabi Ibrahim untuk
menyembelih putranya sebagai perintah Tuhan. Bahkan, Siti Hajar berani
terang-terangan menolak bujukan setan yang memperdaya dan menghujaninya
dengan batu-batu –sebuah peristiwa yang kelak diperingati dengan
melempar jumrah dalam ritus ibadah haji-.
Pemaknaan kita terhadap ibadah qurban
selama ini nyaris melalaikan keberadaan Siti Hajar. Jarang sekali kita
menginsafi jerih payah Siti Hajar dalam membesarkan Ismail di
tengah-tengah tandusnya hamparan padang pasir. Entah sengaja atau tidak,
sepertinya kita menutup mata dengan segala pengorbanan Siti Hajar yang
berlari tertatih-tatih naik-turun bukit Shafa dan Marwa. Oleh sebab
itulah, perayaan hari raya qurban kali ini perlu menjadi momentum untuk
merefleksikan pengorbanan Siti Hajar yang menjadi representasi kaum
perempuan. Pemaknaan yang timpang terhadap ibadah qurban hanya akan
memperpanjang perlakuan diskriminasi gender yang selama ini kerap
dialami kaum perempuan.
Padahal, pada hakikatnya, Tuhan
menciptakan laki-laki dan perempuan setara. Tinggi rendahnya martabat
seseorang dihadapan Tuhan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan
nilai pengabdian serta ketaqwaannya. Pesan sejenis yang mengungkap
keseteraan itu banyak sekali ditemukan dalam al-Qur’an. Hanya cara
pandang dan produk pemaknaan kita sendiri yang telah mereduksi
kesetaraan itu. Sehingga, kaum perempuan mengalami penderitaan dan
ketidakadilan secara bertubi-tubi dalam berbagai dimensi kehidupan.
Kita tidak boleh menutup mata dari
pengorbanan kaum perempuan. Perempuan nyaris selalu diidentikkan dengan
ibu. Sementara ibu selalu identik dengan kasih sayang dan pengorbanan.
Tak ada kata letih bagi seorang ibu dalam memberikan kasih sayangnya
kepada anak-anaknya. Bahkan nyawa pun ia korbankan demi kasih sayangnya
kepada buah hati. Bila dalam ibadah qurban dimaknai sebagai penyerahan
diri sepenuhnya terhadap kebesaran Tuhan, maka ketika seorang ibu
melahirkan, ia pun berserah diri sepenuhnya terhadap kebesaran anugerah
Tuhan, bahkan dengan nyawanya sendiri.
Ibu merelakan dirinya berkorban untuk
menjadi qurban. Oleh karenanya, Nabi dalam sabdanya sangat tidak
berlebihan bila mengibaratkan surga ada di bawah telapak kaki ibu.
Bahkan Rumi dalam syair Matsnawi-nya menyatakan bahwa perempuan
pantas untuk disebut sebagai pencipta. Ia merasa telah menemukan ibu di
segala tempat. Bahkan secara umum ia mengibaratkan segala sesuatu dalam
kosmos ini adalah seperti ibu yang melahirkan sesuatu yang lebih
tinggi.
Namun pengorbanan itu sering terlupakan
oleh kecongkakan dan keserakahan nafsu manusia. Bahkan dengan
mengatasnamakan agama. Agama sering dijadikan alat justifikasi untuk
membenarkan kemauan nafsu manusia. Dan sekali lagi perempuan pun harus
dijadikan sebagai korban keserakahan nafsu itu. Untuk itu, momentum
ibadah qurban sepatutnya menjadi titik balik cara pandang kita terhadap
perempuan.
Sulit dipungkiri, cara pandang
diskrimintif terhadap perempuan sedikit banyak dibentuk oleh teks-teks
penafsiran terhadap doktrin agama yang bersifat andocentricity.
Maksudnya, bahwa dunia ini senantiasa dipandang dan dipahami dari sudut
pandang kaum laki-laki. Perempuan hanya digambarkan sebagai obyek yang
pasif. Semangat ibadah qurban hendaknya mampu mendekonstruksi pemahaman
seperti itu, yang harus segera disadari adalah teks-teks penafsiran
semacam itu memiliki pijakan konteks historis yang lain. Konteks dahulu
pada saat penafsiran berbeda dengan konteks kita saat ini. Untuk itu,
perlu dilakukan penelitian lebih jauh terhadap penafsiran teks-teks
keagamaan yang bias gender yang selama ini diterima begitu saja.
Penelitian ini sangat penting karena akan menyadarkan kita untuk
bersikap lebih kritis terhadap apa yang dianggap “ajaran Islam” yang
ada, yang mungkin sebenarnya berasal dari budaya sebelum Islam dan
bertentangan dengan ruh Islam.
Implikasi yang konkret, sikap toleran
dan apresiatif terhadap perempuan akan tumbuh dalam dinamika kehidupan.
Pemaknaan teks-teks agama pun nantinya akan ramah terhadap perempuan.
Dengan begitu, kita bisa membantah ungkapan Moriz Winternitz, “Perempuan
selalu menjadi sahabat agama, tetapi agama bukan sahabat bagi
perempuan”. Nyatanya, agama Islam adalah sahabat karib perempuan.
MARÂJI’
0 komentar:
Posting Komentar
Boleh komentar apa saja.