Mengabarkan Tentang Sesuatu Untuk Kita

Laman

Wanita pelacur dan bapak walikota



"MAKIN nyentrik aja kebiasaan pejabat zaman sekarang. Mau mundur jabatan aja pake diheboh-hebohin segala macem," tutur Laksmi saat merias dirinya dengan gincu dan eyeshadow di depan cermin kamar. Dia sudah jadi pekerja seks komersial sejak sepuluh tahun yang lalu.

"Siapa yang Mbak maksud? Aku buta sama berita pemerintahan. Ngurus biaya buat anak sekolah aja udah bikin cenat-cenut. Apalagi ngurusin pejabat," respon Utari, si gadis dua puluh lima tahun yang sudah jadi ibu di usia 18 tahun. Anak lelakinya kini sudah masuk SD. Namanya Putera, pintar di sekolah meski tak punya ayah.

"Ngebahas para pejabat ini bukan berarti kita ngurusin lho ya. Sama halnya dengan mereka, ngehabas kita bukan berarti ngurusin." Laksmi membasahi bibirnya dengan lidah. Perempuan berusia kepala tiga ini semakin cantik di tengah remangnya cahaya lampu kamar kosan.

"Nggak ngerti aku."

"Utari, makanya kalau nonton TV tuh jangan YKS mulu. Tuh Mata Najwa tonton."

"Hoalah! Bahasanya tinggi gitu mana ngerti aku. Cuma episode Angel Lelga aja deh yang kemarin aku tonton." Tapi Utari mendadak penasaran. "Emang gimana ceritanya?"

"Ya gitu deh ... Intinya itu ada walikota yang mau ngelepasin jabatannya. Dia juga keblinger banget mau nutup lokalisasi pelacuran."

Utari tertawa. "Mau ditutup? Emang bisa?"

"Makanya. Jelas-jelas Dolly itu didukung aparat. Makanya bisa tahan sampai sekarang. Kalo ngomongin moral bobrok, moral paling bobrok itu ya para koruptor. Ya kita ini kerja. Bukan nyolong duit orang. Dan kalau mereka-mereka ini bisa mikir, kenapa nggak para lelaki idung belang aja yang dirazia. Dikarantina gitu kek supaya setia sama bininya. Kok malah kita yang selalu ditangkap terus dimasukin panti sosial. Disuruh jahit ini itu. Emangnya mau wiraswasta itu gampang apa?"

"Bener juga ya, Mbak. Tapi tujuan dia mungkin baik, mau bikin warganya sejahtera."

"Sejahtera yang kayak gimana? Baik yang kayak gimana? Kalau tolok ukurnya dapat awards atau semacamnya terus bisa dikatain baik, ya pikir ulang deh .."

"Ngomong apa to, Mbak. Tapi emang sih .. mereka pikir gampang apa hidup kayak kita. Coba kalau pemerintah ngasih modal yang gede, bisa bikin anak-anak kita ini sekolah sampai sarjana, pastilah penjaja cinta kayak kita pada pensiun semua. Hihi ..."

"Nah, bener itu." Whulan membangkitkan diri. Ia melucuti pakaiannya sebelum memakai pakaian superketat. "Kita ini bukan satu-satunya pendosa, Tari. Inget itu. Kamu, aku, mereka, orang-orang di belakang, di depan, nggak ada yang bisa jamin kalau mereka hidup bersih sebersih-bersihnya. Para peselingkuh, tukang kawin, apa bedanya sama kita."

Suara pintu yang berderit terdengar. Muncullah Saodah, perempuan paruh baya berusia 50 tahun. Adalah mucikari bagi keduanya. "Ribut-ribut kenapa ini? Kalian udah siap?"

"Aku sih udah siap, Mak. Mbak Laksmi nih yang lelet," canda Utari yang masih mengutak-ngatik ponselnya sambil lesehan di atas lantai.

"Tempat ini nggak bakalan ditutup. Emak bisa jamin." ucap Saodah dengan asap rokok yang mengepul dari mulut tuanya. "Pelacuran bakalan tutup kalau kiamat besar datang!"

Pernyataan ini membuat Laksmi dan Utari tertawa layaknya setan.

"Aku denger dari salah satu klien-ku, kalau dosa berahi adalah dosa pertama sekaligus paling tua di dunia. Aku nggak pernah tahu apa akan ada hari dimana semua orang kawin sama pasangan resminya."

"Ciee .. sebutannya udah 'klien'. Kayak pengacara aja," ledek Utari.

"Emak sih sependapat sama Laksmi. Kalau dipikir-pikir adanya tempat kayak beginian kan ngehindari angka pemerkosaan. Ah, tapi itu juga kata klien emak dulu." Saodah tersenyum malu-malu.

Laksmi usai memakai pakaian terusannya, busana cocktail merah membaranya membuatnya sepanas neraka. "Mak Saodah dulunya pasti laku. Sekarang aja masih cantik."

"Ya jelaslah. Emak dulu dipakai sama pejabat-pejabat. Itu tuh waktu eranya Soeharto. Sampai-sampai ada yang kepengen nikah siri segala. Tapi Emak nolak, dimana harga diri Emak kalo nerima hal kayak gitu?"

"Emang pelacur masih punya harga diri, Mak?" tanya Utari. Kali ini rebahan di kasur tikus.

"Ya adalah. Kita ini kan cuma ngelakuin kerjaan. Kita ngelayani selama dia ngasih duit. Nggak ada urusannya sama cinta. Mereka boleh beli tubuh kita tapi mereka nggak akan bisa beli hati kita."

"Keren mampus. Aku sependapat sama Mak." Whulan langsung berbalik usai mengenakan sepatu high heelsnya. "Tapi kalau kita cinta dan dia cinta, nggak ada salahnya dong jadian?"

"Ya nggak ada salahnya lah. Itu justru bagus. Jodohnya di situ," urai Saodah. "Tapi lihat-lihat lakinya dulu. Yang lajang. Kayak mahasiswa lajang atau siapa kek. Kalau dia udah punya bini, itu artinya kita sama jahatnya sama dia. Kita perempuan, harus punya hati perempuan. Bukan hati iblis."

"Aduh, pernyataan Mak bikin aku merinding disko. Hihi ..." Utari tertawa. "Tapi nggak ada bedanya sih. Kita ngelayanin mereka, sama aja ngezalimin bini mereka."

Laksmi melipat tangan ke dada. "Laksmi, aturannya gini aja deh. Mereka yang datang ke kita, artinya dosa mereka jauh lebih gede."

"Ngomongin dosa bikin ngeri! Nggak ikut-ikutan." Utari cemberut.

Laksmi kini lebih berhadapan dengan Saodah. "Okey, kayaknya kita harus kerja," katanya sambil membenarkan rambut panjangnya. "Jadi siapa pelanggan kita sekarang? Jangan bilang anak-anak sekolah."

Saodah tertawa kecil. "Yang jelas nggak mungkin anak-anak SD. Kita bakal tendang pantat mereka kalau mereka coba-coba kemari. Mereka itu orang-orang kayak biasalah. Nggak begitu penting juga kan siapa mereka. Tapi kalau mereka ngajak ngobrol ya dinyambung-nyambungin aja."

"Ah palingan klien berseragam cokelat-cokelat lagi. Hihi ..." Utari kegelian.

"Siapapun itu kita harus profesional." Laksmi berbalik dan berkutat diri di depan cermin. Mengecek kesempurnaan penampilannya. "Jadi kita selesaikan omongan soal pejabat mundur, pejabat menangis, pejabat berderai air mata. Air mata itu milik semua orang termasuk kita. Hebatnya kita dari dia, kita tidak cengeng. Kita hanya masih hidup di tengah chaos."

"Saos?" Utari membangkitkan diri. "Kok bawa-bawa saos? Aneh ..."

Laksmi mengusaikan kegeramannya. Ia keluar kamar dan berjalan dengan anggun. Seanggun kucing hitam di atap rumah tempat pelacuran lain.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Boleh komentar apa saja.

POSTING TERBARU

Arsip Blog

Total Tayangan Laman

z

Tiket Pesawat Murah Ada: Disini

Sponsor

Sistema Enlaces Reciprocos
Code tukar link

Tampilan seperti ini: kabar berita